Dunia Pendidikan: Ketika Moral Mengalahkan IQ | Berita Populer Lazismu
Ketika Moral Mengalahkan IQ
"Moral dan etika bisa menutupi kekurangan IQ. Tetapi IQ bagaimanapun tidak bisa menolong moral dan etika yang buruk."
Saat PPDB berlangsung, sepasang calon wali murid mendaftarkan anak mereka. Mereka berdua berlatar belakang pendidik dan memiliki kemampuan berdialog yang baik. Mampu menyampaikan kekurangan dan kelebihan anak mereka secara rinci. Dengan tulus mereka menceritakan kronologis kejadian yang dialami anak mereka selama di sekolah dasar dan di keluarga. Kedua orang tua calon wali murid itu terkesan mudah menyesuaikan diri dengan petugas pendaftaran siswa baru termasuk kepada saya sebagai kepala sekolah.
Mereka menceritakan bahwa anak mereka lahir tidak normal, lahir lebih awal dari yang diperkirakan atau prematur. Anak mereka kurang suka pelajaran yang menggunakan logika. Mereka katakan anak mereka kurang menguasai pelajaran yang diberikan oleh guru. "Namun begitu anak kami suka bergaul dan ramah terhadap teman-temannya, termasuk dengan kakak-kakak kelasnya. Terhadap Bapak dan Ibu gurunya pun anak kami mudah menyesuaikan diri."
Mereka melanjutkan, "Terhadap guru yang dianggap Killer pun anak kami bisa bekerja sama. Dengan demikian dapat dipahami, meski lemah dalam pelajaran, anak kami mendapat tempat di hati para guru."
Selanjutnya sang ayah dari calon siswa baru mengajukan pertanyaan, "Bisakah anak kami diterima di sekolah ini?" Dengan nada dan mimik meminta disetujui. "Saya memilih sekolah ini atas saran kepala sekolah dan guru SD anak kami." Selanjutnya topik Bahasan tentang adik dari si calon siswa baru.
"Pak, Tapi saya sekarang bingung, karena anak saya nomor satu ini tidak sama dengan adiknya. Dia sukar sekali kalau diajari pelajaran, terutama yang berhubungan dengan menghitung. Mengapa begitu, Pak? Bukankah seharusnya dia lebih pandai dari adiknya? Mengapa justru kalah dengan adiknya yang baru kelas 3 SD?" Mendapatkan pertanyaan telat seperti itu, saya berpikir bagaimana saya harus menjawab tanpa harus menyinggung perasaan.
"Seharusnya Bapak dan Ibu bangga punya anak seperti dia mengapa tanda tanya Karena ia memiliki moral dan etika yang sehat, Ia memiliki sifat sosial yang tinggi, ia sangat mengetahui kelebihannya dan paham akan kekurangan dirinya. Itu semua adalah bekal utama untuk hidup di masa depan. Artinya Bapak dan Ibu tidak usah takut dikatakan IQ-nya di bawah rata-rata, mereka masih kecil masih memiliki kesempatan untuk berkembang kepintarannya. Goblok nggak apa-apa, asal moral dan etika tertata rapi," sambil saya jabat tangannya, saya sampaikan, Mohon maaf, ini semua bahasa motivasi.
Pendidikan kita tampaknya terlalu teoritik, selalu diukur dengan kemampuan kognitif, tidak aplikatif dengan kehidupan, justru makin memisahkan dari kegiatan sosial sehari-hari. Pendidikan kita tidak membekali bagaimana menghadapi kehidupan nyata di masyarakat, sehingga mereka sulit bersosialisasi dengan lingkungan dimana mereka berada. Mereka hanya tahu banyak hal melalui buku-buku, tanpa kegiatan nyata. Lulus ujian dan mendapatkan ijazah dengan nilai yang tinggi adalah target utama mereka.
Sudah seharusnya dalam pendidikan, kita tidak boleh hanya memikirkan metode pembelajaran dan peminatan sesuai passion siswa saja. Namun lebih dari itu yang harus kita pikirkan adalah materi yang kita ajarkan apakah sudah tepat. Artinya pendidikan melalui persekolahan bisa menghasilkan anak-anak memiliki kompetensi pengetahuan yang pada akhirnya bisa memecahkan segala problema yang mereka hadapi saat ini dan masa depan, serta ilmu yang mereka dapatkan tidak tertinggal dengan dinamika masyarakat di mana mereka berada.
Komentar
Posting Komentar