Bermakmum Kepada Imam Yang Tidak Fasih Membaca Al Qur'an | Berita Populer Lazismu
Bermakmum Kepada Imam Yang Tidak Fasih Membaca Al-Qur''annya
Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh.
Pertanyaan:
Ustadz mohon pencerahannya, apabila shalat (berjamaah) bacaan imamnya tidak tartil, makhrajnya gak jelas…Hukumnya gimana? dan apabila saya sebagai makmum mau batalkan diri shalat jamaah, gimana ustadz waktu bacaan Al-Fatihah apakah saya ikut mengucapkan 'Amin', apa tidak ustadz? (Dari jamaah masjid al Muqarrabin-Kedung Anyar- Surabaya- lewat WA)
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullohi wabarakatuh.
Saudara penanya yang budiman, memperhatikan pertanyaan yang saudara ajukan, kami berpraduga baik, sesungguhnya di kalangan jamaah masjid tersebut, masih ada yang bacaan al-Qur’annya lebih baik dari imam yang saudara sebutkan, yakni setidak-tidaknya saudara sendiri, karena saudara dapat menilai bahwa bacaan sang imam yang ada di lingkungan saudara kurang fasih. Hanya orang yang tahu yang dapat menilai bacaan imam tidak fasih.
Saudara penanya yang kami muliakan, terkait dengan imam yang bacaan Al-Qur'annya tidak fasih, yaitu sang imam melakukan lahn (kesalahan bacaan) dalam membaca Al Fatihah, tidak serta-merta dihukumi tidak sah shalatnya. Karena kesalahan dalam bacaan Al Qur’an dibagi menjadi dua:
Al lahnul khafiy, kesalahan yang ringan yang tidak sampai merusak makna ayat.
Al lahnul jaliy, kesalahan yang berat yang merusak makna ayat.
Jika kesalahan yang dilakukan imam adalah lahn khafiy, maka shalatnya tetap sah, walaupun menjadi kurang sempurna. Adapun jika kesalahan yang dilakukan imam adalah lahn jaliy, inilah yang menjadi titik masalah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh pernah ditanya terkait hal ini, “apakah orang yang bacaan Al Fatihah-nya terdapat lahn (kesalahan) sahkah shalatnya atau tidak?”. Beliau menjawab: “jika lahn dalam membaca Al Fatihah itu tidak sampai mengubah makna maka sah shalatnya, baik ia imam atau munfarid. Semisal ia mengucapkan rabbil ‘alamin wadhallin atau semisalnya. Adapun bacaan semisal alhamdulillahi rabbul ‘alamin atau alhamdulillahi rabbal ‘alamin atau alhamdulullah dan alhamdilillah dengan lam di dhammah atau dal di-kasrah, atau juga ‘alaihim atau ‘alaihum atau semisal itu, ini semua tidak dianggap sebagai lahn. Adapun lahn yang mengubah makna, jika yang mengucapkan paham maknanya, semisal ia mengucapkan shirathalladzina an’amtu ‘alaihim dan ia paham bahwa dhamir di sini adalah mutakallim, maka tidak sah shalatnya. Jika ia tidak paham maknanya dan ia merasa bahwa dhamir-nya mukhathab maka ada khilaf mengenai keabsahan shalatnya. Wallohu a’lam”. (Al Fatawa Al Kubra, 2/185).
Lalu jika imam membaca Al Fatihah dengan lahn jaliy, maka perlu dirinci keadaannya. Sebagaimana penjelasan Ibnu Qudamah rahimahulloh: “Siapa yang meninggalkan satu huruf saja dari Al Fatihah, karena tidak mampu membacanya, atau ia mengganti hurufnya dengan huruf lain, seperti orang yang cadel yang membaca ra’ dengan ghain, dan orang yang lidahnya kaku sehingga selalu menggabungkan satu huruf dengan huruf lain, atau melakukan lahn yang mengubah makna, seperti orang yang membaca iyyaka dengan iyyaki, atau membaca an’amta menjadi an’amtu, dan ia tidak mampu memperbaikinya, maka statusnya sama dengan orang yang ummi (tidak biasa membaca). Orang yang bisa membaca tidak sah bermakmum kepadanya. Namun orang yang semisal dia (yang ummi juga), boleh bermakmum kepadanya. Karena mereka semua ummi, sehingga boleh saling mengimami satu sama lain. Sama seperti orang yang tidak bisa membaca sama sekali. Namun jika ia mampu untuk memperbaikinya dan ia tidak melakukannya, maka tidak sah sama sekali shalatnya dan tidak sah shalat orang yang bermakmum kepadanya”.
Beliau juga mengatakan: “Dimakruhkan bermakmum kepada imam yang membaca dengan lahn yang tidak mengubah makna. Ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dan sah shalatnya bagi makmum yang tidak membaca dengan lahn, karena mereka telah menunaikan kewajiban membaca Al Fatihah. Jika lahn sampai mengubah makna namun terjadi pada selain bacaan Al Fatihah, maka tidak mempengaruhi keabsahan shalat dan juga tidak membatalkan keimaman, kecuali jika imam bersengaja melakukannya. Maka ketika itu batal shalat mereka semua.” (Al Mughni, 3/29-32).
Kesimpulan dari penjelasan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah di atas, adalah sebagai berikut:
Jika imam melakukan lahn (kesalahan baca) pada Al Fatihah dan tidak sampai mengubah makna, maka sah shalatnya imam dan makmum.
Jika imam melakukan lahn (kesalahan baca) pada Al Fatihah dan sampai mengubah huruf atau mengubah makna, dan imam adalah orang awam yang tidak mampu memperbaiki bacaannya, maka:
Sah shalatnya imam
Sah shalatnya makmum yang keadaannya sama dengan si imam
Tidak sah shalatnya makmum yang bisa membaca dengan benar
Jika imam melakukan lahn (kesalahan baca) pada Al Fatihah, dan sampai mengubah huruf atau mengubah makna, dan imam adalah orang yang sebenarnya mampu belajar dan mampu memperbaiki bacaannya, maka tidak sah shalatnya imam dan makmumnya.
Sebagian ulama, seperti ulama Malikiyah berpendapat bahwa shalat imam dan makmum tetap sah selama imam tidak bersengaja untuk membaca dengan lahn (kesalahan baca).
Apa yang Perlu Dilakukan?
Yang perlu dilakukan adalah berusaha mencari masjid yang memiliki para imam yang bagus bacaannya, selamat dari lahn. Atau berusaha menasehati dengan cara yang arif dan santun agar memperbaiki bacaan para imam di masjidnya dengan mengajaknya untuk belajar kembali tajwid dan tahsin Al Qur’an. Dan para pengurus masjid hendaknya berusaha memilih imam yang paling baik bacaannya. Mengingat sabda Nabi shallallohu’alaihi wa sallam:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَائَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَ فِي رِوَايَةٍ: سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. (رواه مسلم)]
Artinya: ‘Yang mengimami suatu kaum (jamaah) itu hendaklah yang paling baik bacaan kitab Alloh (al-Qur’an) nya. Jika di antara mereka itu sama, maka hendaklah yang paling tahu tentang as-Sunnah, dan apabila di antara mereka sama pengetahuannya tentang as-Sunnah, hendaklah yang paling dahulu berhijrah, dan apabila di antara mereka sama dalam berhijrah, hendaklah yang paling dahulu memeluk Islam’. Dalam riwayat lain disebutkan: “Yang paling tua usianya. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya.” (HR. Muslim no. 673).
Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah mengatakan: “Jika anda ingin shalat, maka pilihlah imam yang bagus bacaannya. Jika anda tahu imam anda tidak bagus bacaannya, yaitu ia membacanya dengan lahn (kesalahan baca) yang mengubah makna, semisal iyyaki na’budu dengan kaf di-kasrah atau an’amtu dengan ta‘ di-dhammah atau di-kasrah, maka tidak boleh bermakmum padanya. Wajib bagi anda untuk memperingatkan dia, jika ia menerima alhamdulillah. Jika tidak, maka usahakan dengan sedemikian rupa agar ia diganti dengan imam yang lebih baik” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no.3193).
Jika terlanjur ada pada shalat jama’ah yang keadaan imamnya membuat shalat tidak sah sebagaimana rincian di atas, maka makmum hendaknya melakukan mufaraqah (memisahkan diri). Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya, “Andaikan makmum shalat bersama imam yang terlalu cepat sehingga membuat makmum tidak bisa melaksanakan kewajiban shalat, apakah ia keluar dari shalat dan shalat sendirian, yaitu berpisah dari imam?”.
Beliau menjawab: “Betul, wajib baginya untuk berpisah dari imam baik dalam shalat tarawih atau shalat lainnya. Jika imam terlalu cepat sehingga tidak bisa tercapai kewajiban shalat, maka dalam keadaan ini kami katakan: hendaknya memisahkan diri dari imam, niatkan shalat sendirian, dan selesaikan shalat dengan niat shalat sendirian” (Syarhul Mumthi’, 4/27).
Maka demikian juga makmum yang mendapati imamnya tidak sah shalatnya karena lahn (kesalahan baca) dalam bacaan Al Fatihah-nya (dengan rincian di atas), maka ia meniatkan diri shalat sendirian (mufaraqah).
Namun hendaknya seseorang tidak bersikap keras dan serampangan dalam masalah ini. Tidak boleh sembarang menuduh bahwa para imam masjid tidak sah shalatnya, karena adanya rincian-rincian yang harus diperhatikan. Demikian juga hendaknya seseorang bersemangat untuk memperbaiki bacaan para imam yang sudah ada, bukan semangat menuduh tidak sahnya shalat para imam atau mengajak jama’ah untuk meninggalkannya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahulloh ketika membahas masalah ini beliau menyampaikan wasiat: “Hendaknya seorang Mukmin tidak bersikap keras dalam masalah ini. Namun hendaknya ia bersungguh-sungguh untuk memberi nasihat kepada saudaranya untuk memperbaiki bacaan sehingga bacaannya menjadi bacaan yang baik dan bagus sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan Al Qur’an” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi no.318).
Demikian jawaban kami, semoga Alloh Ta’ala memberi taufik dan hidayah kepada kita, dan semoga bisa mencerahkan,
Sekian wallohu a'lam bish-shawab
Komentar
Posting Komentar